Wedding Diary: Memutuskan untuk Menikah
12:36 AM
Banyak yang nggak percaya waktu aku bilang aku mau menikah. Mungkin orang-orang di sekitarku (atau bisa juga di sosial media) ngiranya aku tuh super slow dan nggak berpikir buat menikah dalam waktu dekat. Ya nggak salah.
Aku tuh memang nggak ngebet nikah. Nggak pernah share apa-apa soal jodoh-jodohan atau harapan supaya lekas dihalalkan. Malah aku lebih sering share soal nikah itu bukan sebuah pencapaian yang harus dulu-duluan kayak balap karung, melainkan sebuah pilihan.
Sejujurnya, aku merasa nyaman sendirian. Aku bisa fokus kerja, bisa bebas ikut workshop sana sini, cari side job kanan kiri karena aku berpikir buat lanjut S2, bisa tidur sepanjang weekend, bisa bebas jalan sama temen-temen, dll.
Bahkan aku malah mikir kedepannya ngontrak rumah aja kali ya, biar aku bisa tinggal sama kucing. Aku nggak ada sedikitpun mikir future aku itu menikah, tapi malah mikir hidup sama kucing.
Bahkan aku malah mikir kedepannya ngontrak rumah aja kali ya, biar aku bisa tinggal sama kucing. Aku nggak ada sedikitpun mikir future aku itu menikah, tapi malah mikir hidup sama kucing.
Aku bukannya nggak membuka diri. Aku membuka diri kok. Aku juga ikutan main aplikasi online dating sebangsa Tinder. Ketemuan juga sama beberapa dari mereka. Ada yang sempet jadi pacar, tapi bubar juga. Selebihnya ya temenan aja, keep contact dan jadi temen jalan, temen nonton, temen ngopi. Cuma sebatas itu, karena aku juga nggak expect apa-apa.
Eh tapi malah ketemu sama satu orang ini. Yang jarang chat-an karena lebih sering ngobrol banyak pas ketemu, temen nonton, temen share jokes receh dan kebodohan umat. Yang nggak disangka-sangka malah baru sukanya itu pas kita berdua memutuskan buat "yaudah kita nikah aja kali tahun depan"
Waktu aku cerita ke beberapa teman kalau aku akan segera menikah, sebagian besar reaksi yang aku terima adalah: kaget nggak percaya. Selanjutnya adalah: semakin terkejut karena jarak antara tunangan ke akad cuma 5 bulan dengan kondisi aku & calon suami di Jakarta, orang tuaku di Surabaya, dan calon mertuaku di Bandung. Sedangkan akad & resepsinya di Surabaya.
Tapi di post ini aku nggak mau bahas soal keribetan persiapan menikahnya. Nanti pasti aku bahas, aku bakal bikin beberapa part seri wedding diary ini (include curhatan keribetannya). Di post ini aku bakal bahas apa aja yang aku obrolin sama calon suamiku saat kami memutuskan untuk menikah.
Oke langsung aja ya..
Latar Belakang Keluarga
Mungkin buat sebagian orang, hal ini nggak penting. Tapi jujur aja, buat aku ini penting! Karena aku nggak cuma menikah sama dia. Tapi aku bakal masuk juga ke keluarganya.
Yang pertama, aku dan dia beda suku. Aku dari etnis Jawa, dan calon suamiku Sunda. Aku menanyakan apakah keluarga dia bermasalah kalau dia menikahi perempuan beda suku? Mengingat masalah beda suku aja bisa jadi masalah di beberapa keluarga. Untungnya keluarga dia nggak masalah, dan keluargaku pun juga nggak masalah. Keluarga kami berdua modern, yang penting seiman.
Yang kedua, meskipun ini sensitif aku menanyakan mengenai orangtuanya. Apakah dia dibesarkan di keluarga yang lengkap (ayah & ibu menikah sampai sekarang dan masih ada), apakah orangtuanya bercerai, atau salah satu meninggal saat dia masih kecil? Hal ini ngaruh banget menurutku terhadap karakter dan perilakunya.
Yang ketiga, aku memastikan kalau strata ekonomi keluarga kita setara atau beda tipis. Jujur aja, aku nggak sanggup kalau harus menikah dengan anak sultan karena aku pasti kesulitan beradaptasi. Pun kalau ekonomi keluarga dia jauh dibawah keluargaku. Meskipun orang bilang "Ya kan kamu nikah sama anaknya, bukan sama keluarganya! Yang penting dia bisa mencukupi kebutuhanmu kan?" yes, I know. Tapi hal ini akan merujuk ke...
Yang keempat, berapa tanggungan dia saat ini. Aku tanya apakah orangtuanya masih bekerja, atau pensiun, berapa saudara kandungnya, apakah mereka financial independent ataukah dia harus menanggung biaya hidup orangtua dan saudaranya?
Setelah semuanya check dan nggak ada masalah, move ke...
Impian dan Karir
I have A LOT of dreams. Banyak hal di dunia ini yang masih pengen aku coba, masih pengen aku raih. Impianku nggak muluk-muluk sih. Nggak setinggi pengen menguasai dunia dan mendapatkan resep rahasia krabby patty. Aku cuma masih pengen berkelana kesana-kemari. Aku masih pengen keluar, ketemu orang-orang, mencicipi dan belajar hal baru, memperdalam skill, dsb.
Aku tanya ke calon suamiku, apakah aku boleh? Boleh masih main sama temen, boleh masih pengen jalan-jalan, bolehkah kalau aku nanti masih pengen ikut workshop sana sini, bolehkah aku tetep kerja, boleh nggak aku pindah-pindah kerja kalau ada kesempatan yang lebih besar? Apakah boleh kalau aku one day ngelanjutin lagi jadi MUA?
Untungnya, calon suamiku ternyata lebih suka perempuan yang nggak diem di rumah. Katanya biar selalu ada bahan obrolan. Ya bener sih. Tiap harinya juga kami ngomongin soal kejadian di kantor, ngomongin temen-temen, nggak melulu soal aku dan dia.
Dia juga malah nanya balik, apakah aku bermasalah misal dia pindah-pindah kerja kalau ada kesempatan yang lebih besar (gaji & fasilitas)? Aku nggak masalah sih. Karena aku pun mau gitu. Tapi kita harus bikin pola. Misal dia mau manjat nih, aku yang harus udah di posisi aman. Kalau aku pengen manjat, dia harus udah di posisi aman. Jadi dapur tetap ngebul dengan aman.
Masalah Keuangan
Sebelumnya aku nggak pernah terbuka soal keuangan sama mantan-mantanku. Bahkan sama keluargaku pun aku nggak terbuka berapa gaji dan pengeluaranku. Sekarang mau nggak mau, aku harus dong terbuka soal keuangan sama calon?
Kami berdua tau gaji satu sama lain. Beneran lihat slip gaji satu sama lain, tau benefit dari kantor masing-masing, dan tau fee side job satu sama lain. Bahkan soal utang dan cicilan masing-masing pun kami berdua terbuka.
Calon suamiku anti banget sama kartu kredit. Dia nggak punya. Prinsip dia, mending nggak punya daripada maksa punya tapi ngutang dan jadi ketagihan. Sedangkan aku, aku nggak anti kartu kredit. Tapi aku memang cuma punya 1 aja, dan nggak berniat nambah CC atau nambah limit. Aku tanya, apa dia keberatan kalau aku punya CC? Apa aku harus tutup?
Untungnya dia nggak keberatan sih. Karena ya memang aku menggunakan kartu kredit cuma sebagai alat pembayaran aja, bukan sarana ngutang. Kadang kan ada promo kartu kredit ya kalau bayar pake CC dapat diskon. Tagihan datang, ya aku langsung lunasin. Ya memang sejumlah jatah jajan & belanjaku.
Terus kami juga membicarakan masalah gaji siapa yang nantinya jadi sumber pemasukan utama (untuk kebutuhan pokok), dan gaji siapa yang jadi tabungan, investasi, dana darurat, dan sejenisnya. Aku sama sekali nggak masalah kalau gajiku nggak full milik aku sendiri. Kan banyak juga pasangan yang uang suami = uang istri, uang istri = uang istri. Buatku gaji aku ya buat kepentingan bersama juga. Karena kita hidup bersama dan support satu sama lain.
Masalah Pernikahan dan Anak
Masalah pernikahan yang aku maksud adalah hal-hal yang mungkin akan terjadi di kehidupan pernikahan kami nanti. Kami membicarakan soal keburukan masing-masing. Kami membicarakan soal seks (yes, we talk about this meskipun agak kagok). Kami membicarakan pandangan soal poligami. Kami membicarakan soal bagaimana batasan hubungan dengan teman lawan jenis.
Soal pekerjaan rumah tangga juga dibahas. Aku tuh orangnya extreme. Kalo pas rapi ya rapiii banget sampe semua aku bersihin. Tapi kalo udah berantakan, ya udah bye. Aku tanya apa dia bermasalah kalau aku lagi males dan ogah beres-beres? Dia jawab "ya aku bantuin." wkwk.. Aku juga nggak suka nyetrika, kalau 1-2 baju doang oke lah. Tapi kalau numpuk banyak aku laundry setrika.
Kami juga membicarakan soal anak. Apakah punya anak adalah sebuah keharusan? Apa boleh kalau nunda dulu karena aku belum siap (mental dan dana)? Mau punya anak berapa? Gimana kalau ternyata nanti kemungkinan kami berdua punya anak itu kecil? Soal pengasuhan anak juga. Semuanya diobrolin sampe perkara nitipin anak di daycare.
--
Kira-kira beberapa poin di atas sih yang lumayan vital buatku. Semuanya udah oke, jadi sudah siap buat melangkah. Ini nggak perlu dijadikan acuan sih... karena ini ya cuma sharing check list versi aku aja. Tapi aku senang kalau hal di atas bisa membantu kalian buat "ngobrol" sama pasangan sebelum memutuskan buat melangkah lebih serius.
I said yes! |
Waktu aku cerita ke beberapa teman kalau aku akan segera menikah, sebagian besar reaksi yang aku terima adalah: kaget nggak percaya. Selanjutnya adalah: semakin terkejut karena jarak antara tunangan ke akad cuma 5 bulan dengan kondisi aku & calon suami di Jakarta, orang tuaku di Surabaya, dan calon mertuaku di Bandung. Sedangkan akad & resepsinya di Surabaya.
Tapi di post ini aku nggak mau bahas soal keribetan persiapan menikahnya. Nanti pasti aku bahas, aku bakal bikin beberapa part seri wedding diary ini (include curhatan keribetannya). Di post ini aku bakal bahas apa aja yang aku obrolin sama calon suamiku saat kami memutuskan untuk menikah.
Oke langsung aja ya..
Latar Belakang Keluarga
Mungkin buat sebagian orang, hal ini nggak penting. Tapi jujur aja, buat aku ini penting! Karena aku nggak cuma menikah sama dia. Tapi aku bakal masuk juga ke keluarganya.
Yang pertama, aku dan dia beda suku. Aku dari etnis Jawa, dan calon suamiku Sunda. Aku menanyakan apakah keluarga dia bermasalah kalau dia menikahi perempuan beda suku? Mengingat masalah beda suku aja bisa jadi masalah di beberapa keluarga. Untungnya keluarga dia nggak masalah, dan keluargaku pun juga nggak masalah. Keluarga kami berdua modern, yang penting seiman.
Yang kedua, meskipun ini sensitif aku menanyakan mengenai orangtuanya. Apakah dia dibesarkan di keluarga yang lengkap (ayah & ibu menikah sampai sekarang dan masih ada), apakah orangtuanya bercerai, atau salah satu meninggal saat dia masih kecil? Hal ini ngaruh banget menurutku terhadap karakter dan perilakunya.
Yang ketiga, aku memastikan kalau strata ekonomi keluarga kita setara atau beda tipis. Jujur aja, aku nggak sanggup kalau harus menikah dengan anak sultan karena aku pasti kesulitan beradaptasi. Pun kalau ekonomi keluarga dia jauh dibawah keluargaku. Meskipun orang bilang "Ya kan kamu nikah sama anaknya, bukan sama keluarganya! Yang penting dia bisa mencukupi kebutuhanmu kan?" yes, I know. Tapi hal ini akan merujuk ke...
Yang keempat, berapa tanggungan dia saat ini. Aku tanya apakah orangtuanya masih bekerja, atau pensiun, berapa saudara kandungnya, apakah mereka financial independent ataukah dia harus menanggung biaya hidup orangtua dan saudaranya?
Setelah semuanya check dan nggak ada masalah, move ke...
Impian dan Karir
I have A LOT of dreams. Banyak hal di dunia ini yang masih pengen aku coba, masih pengen aku raih. Impianku nggak muluk-muluk sih. Nggak setinggi pengen menguasai dunia dan mendapatkan resep rahasia krabby patty. Aku cuma masih pengen berkelana kesana-kemari. Aku masih pengen keluar, ketemu orang-orang, mencicipi dan belajar hal baru, memperdalam skill, dsb.
Aku tanya ke calon suamiku, apakah aku boleh? Boleh masih main sama temen, boleh masih pengen jalan-jalan, bolehkah kalau aku nanti masih pengen ikut workshop sana sini, bolehkah aku tetep kerja, boleh nggak aku pindah-pindah kerja kalau ada kesempatan yang lebih besar? Apakah boleh kalau aku one day ngelanjutin lagi jadi MUA?
Dia juga malah nanya balik, apakah aku bermasalah misal dia pindah-pindah kerja kalau ada kesempatan yang lebih besar (gaji & fasilitas)? Aku nggak masalah sih. Karena aku pun mau gitu. Tapi kita harus bikin pola. Misal dia mau manjat nih, aku yang harus udah di posisi aman. Kalau aku pengen manjat, dia harus udah di posisi aman. Jadi dapur tetap ngebul dengan aman.
Masalah Keuangan
Sebelumnya aku nggak pernah terbuka soal keuangan sama mantan-mantanku. Bahkan sama keluargaku pun aku nggak terbuka berapa gaji dan pengeluaranku. Sekarang mau nggak mau, aku harus dong terbuka soal keuangan sama calon?
Kami berdua tau gaji satu sama lain. Beneran lihat slip gaji satu sama lain, tau benefit dari kantor masing-masing, dan tau fee side job satu sama lain. Bahkan soal utang dan cicilan masing-masing pun kami berdua terbuka.
Calon suamiku anti banget sama kartu kredit. Dia nggak punya. Prinsip dia, mending nggak punya daripada maksa punya tapi ngutang dan jadi ketagihan. Sedangkan aku, aku nggak anti kartu kredit. Tapi aku memang cuma punya 1 aja, dan nggak berniat nambah CC atau nambah limit. Aku tanya, apa dia keberatan kalau aku punya CC? Apa aku harus tutup?
Untungnya dia nggak keberatan sih. Karena ya memang aku menggunakan kartu kredit cuma sebagai alat pembayaran aja, bukan sarana ngutang. Kadang kan ada promo kartu kredit ya kalau bayar pake CC dapat diskon. Tagihan datang, ya aku langsung lunasin. Ya memang sejumlah jatah jajan & belanjaku.
Terus kami juga membicarakan masalah gaji siapa yang nantinya jadi sumber pemasukan utama (untuk kebutuhan pokok), dan gaji siapa yang jadi tabungan, investasi, dana darurat, dan sejenisnya. Aku sama sekali nggak masalah kalau gajiku nggak full milik aku sendiri. Kan banyak juga pasangan yang uang suami = uang istri, uang istri = uang istri. Buatku gaji aku ya buat kepentingan bersama juga. Karena kita hidup bersama dan support satu sama lain.
Masalah Pernikahan dan Anak
Masalah pernikahan yang aku maksud adalah hal-hal yang mungkin akan terjadi di kehidupan pernikahan kami nanti. Kami membicarakan soal keburukan masing-masing. Kami membicarakan soal seks (yes, we talk about this meskipun agak kagok). Kami membicarakan pandangan soal poligami. Kami membicarakan soal bagaimana batasan hubungan dengan teman lawan jenis.
Soal pekerjaan rumah tangga juga dibahas. Aku tuh orangnya extreme. Kalo pas rapi ya rapiii banget sampe semua aku bersihin. Tapi kalo udah berantakan, ya udah bye. Aku tanya apa dia bermasalah kalau aku lagi males dan ogah beres-beres? Dia jawab "ya aku bantuin." wkwk.. Aku juga nggak suka nyetrika, kalau 1-2 baju doang oke lah. Tapi kalau numpuk banyak aku laundry setrika.
Kami juga membicarakan soal anak. Apakah punya anak adalah sebuah keharusan? Apa boleh kalau nunda dulu karena aku belum siap (mental dan dana)? Mau punya anak berapa? Gimana kalau ternyata nanti kemungkinan kami berdua punya anak itu kecil? Soal pengasuhan anak juga. Semuanya diobrolin sampe perkara nitipin anak di daycare.
--
Kira-kira beberapa poin di atas sih yang lumayan vital buatku. Semuanya udah oke, jadi sudah siap buat melangkah. Ini nggak perlu dijadikan acuan sih... karena ini ya cuma sharing check list versi aku aja. Tapi aku senang kalau hal di atas bisa membantu kalian buat "ngobrol" sama pasangan sebelum memutuskan buat melangkah lebih serius.
2 comments